
Namun, presiden ke-47 AS itu memperkuat dukungannya terhadap para blogger dan podcaster konservatif sebagai alat menyampaikan agenda radikalnya, sekaligus menantang independensi media arus utama.
Sejak lama, Trump bermusuhan dengan saluran berita besar seperti CNN dan surat kabar The New York Times, tetapi kini bahkan kantor berita ternama seperti Associated Press (AP) pun tak luput dari kecaman.

AP menjadi sasaran setelah tetap menyebut “Teluk Meksiko”, bukan “Teluk Amerika” sesuai kebijakan pemerintahan Trump, sehingga wartawannya dilarang memasuki Oval Office di Gedung Putih dan pesawat kepresidenan Air Force One.
Tindakan-tindakan ini semakin memperjelas upaya Trump membatasi kebebasan pers. Politisi Partai Republik itu juga menggugat saluran swasta CBS, surat kabar The Des Moines Register, serta memaksa ABC untuk membayar 15 juta dollar AS (Rp 249 miliar) dengan ancaman gugatan pencemaran nama baik.
“Langkah-langkah Gedung Putih untuk membatasi kemampuan jurnalis melakukan pekerjaan dan mendokumentasikan peristiwa belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Katherine Jacobsen, direktur program AS untuk Komite Perlindungan Jurnalis, dikutip dari kantor berita AFP.
Pemerintahan Trump juga berupaya mengendalikan narasi dengan mengancam media luar negeri seperti Voice of America, Radio Free Europe/Radio Liberty, dan Radio Free Asia.

Tidak hanya itu, ia juga berusaha mengurangi dana federal untuk radio publik NPR dan televisi PBS.
Elon Musk, pendukung setia Trump, bahkan menyarankan agar tim di balik acara 60 Minutes-nya CBS dipenjara.
Menurut Reece Peck, profesor jurnalisme di Universitas New York, “Memanfaatkan kekuasaan pemerintah untuk membungkam kebebasan berbicara dan mengancam organisasi-organisasi berita… Saya rasa ini baru.”
Sementara itu, Komisi Komunikasi Federal (FCC) yang dipimpin oleh sekutu Trump memulai penyelidikan terhadap sejumlah media besar, termasuk CBS, ABC, NBC, NPR, dan PBS.
Penurunan posisi Amerika dalam indeks kebebasan pers

Upaya-upaya ini turut berdampak pada peringkat kebebasan pers Amerika Serikat, yang turun dari posisi ke-45 pada 2023 ke peringkat 55 pada 2024 dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia oleh Reporters Without Borders (RSF).
Meski demikian, para pengamat menilai bahwa Trump tidak akan mampu sepenuhnya mengendalikan media besar seperti The New York Times yang terus melakukan pelaporan investigasi kritis terhadap pemerintahannya.
Dan Kennedy, profesor jurnalisme di Universitas Northeastern, berpendapat, “Kemampuannya terbatas. Dia dapat mencoba menemukan beberapa target di sana-sini, tetapi dia jelas belum dapat melakukan apa pun terhadap The New York Times.”
Trump juga memanfaatkan ketidakpercayaan yang berkembang di kalangan publik terhadap media tradisional.